Treat Culture 2025: Apa Itu dan Mengapa Jadi Fenomena?
Fenomena Treat Culture 2025 merujuk pada kebiasaan generasi milenial dan Gen Z yang sering memberi “hadiah kecil” untuk diri sendiri. Bentuknya bisa bermacam-macam, mulai dari membeli kopi mahal, skincare premium, gadget terbaru, hingga liburan singkat ke destinasi populer.
Bagi generasi muda, Treat Culture bukan sekadar gaya hidup konsumtif, tetapi bentuk self-care dan cara menjaga kesehatan mental. Dengan tekanan pekerjaan, pendidikan, dan dunia digital yang semakin intens, memberi treat untuk diri sendiri dianggap sebagai salah satu bentuk apresiasi atas kerja keras sehari-hari.
Asal-Usul Treat Culture
Konsep Treat Culture mulai dikenal sejak 2019 melalui media sosial, terutama TikTok dan Instagram. Slogan “You deserve a little treat” menjadi viral ketika banyak influencer memamerkan kebiasaan sederhana mereka dalam memanjakan diri.
Di era pandemi COVID-19, fenomena ini semakin kuat karena orang-orang mencari cara untuk membuat diri mereka bahagia di tengah keterbatasan. Lalu, pada 2025, Treat Culture berkembang menjadi tren global yang bukan hanya terjadi di kalangan individu, tetapi juga memengaruhi industri retail, F&B, fashion, hingga teknologi.
Karakteristik Treat Culture 2025
Fenomena Treat Culture memiliki beberapa ciri khas:
-
Frekuensi Tinggi – Treat dilakukan secara rutin, bukan hanya di momen khusus.
-
Nominal Bervariasi – Bisa sekadar beli bubble tea Rp30 ribu, hingga liburan ke Bali.
-
Motivasi Emosional – Fokus utamanya bukan kebutuhan, tetapi rasa bahagia dan self-reward.
-
Dipamerkan di Media Sosial – Banyak orang mendokumentasikan treat mereka di TikTok, Instagram, atau X.
Dengan ciri-ciri ini, Treat Culture 2025 jadi fenomena sosial yang erat kaitannya dengan identitas digital generasi muda.
Dampak Ekonomi: Ledakan Konsumsi Gaya Hidup
Fenomena Treat Culture 2025 berdampak besar pada perekonomian global, terutama sektor konsumsi.
-
Industri Food & Beverage – Coffee shop, bubble tea, dan restoran cepat saji jadi pilihan treat populer.
-
Industri Fashion & Beauty – Skincare, parfum, dan outfit of the day (OOTD) masuk kategori treat yang paling sering dibeli.
-
Travel & Leisure – Liburan singkat (staycation) jadi salah satu bentuk treat paling digemari.
-
Teknologi & Gadget – Generasi muda rela membeli gadget terbaru sebagai hadiah untuk diri sendiri.
Menurut survei global 2025, sekitar 68% Gen Z mengaku rutin memberi treat minimal sekali seminggu, dengan pengeluaran rata-rata $100 per bulan. Ini membuat Treat Culture jadi salah satu motor penggerak ekonomi kreatif.
Perspektif Psikologi: Treat Culture dan Kesehatan Mental
Dari sisi psikologi, Treat Culture memiliki dampak positif sekaligus negatif.
Dampak Positif
-
Memberi rasa bahagia jangka pendek.
-
Meningkatkan motivasi kerja atau belajar.
-
Menjadi bentuk self-care di tengah tekanan hidup.
Dampak Negatif
-
Risiko konsumtif berlebihan.
-
Perasaan bersalah setelah mengeluarkan uang.
-
FOMO (fear of missing out) akibat membandingkan diri dengan orang lain di media sosial.
Psikolog menyarankan agar Treat Culture dijalankan dengan prinsip moderasi, bukan sebagai pelarian dari stres.
Treat Culture 2025 dan Media Sosial
Peran media sosial dalam mempopulerkan Treat Culture tidak bisa dipisahkan. Hashtag seperti #LittleTreat, #TreatYourself, dan #TreatCulture2025 menjadi viral dengan jutaan views.
TikTok khususnya menjadi tempat di mana pengguna berbagi momen kecil, seperti:
-
Membeli croissant di bakery fancy.
-
Membuka kemasan skincare baru.
-
Unboxing gadget terbaru.
-
Video “a day in my life” dengan treat sederhana di akhir hari.
Fenomena ini membuat Treat Culture bukan hanya konsumsi pribadi, tetapi juga konten sosial yang memperkuat identitas digital.
Studi Kasus: Treat Culture di Indonesia
Di Indonesia, Treat Culture 2025 terlihat jelas di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Bali.
-
Coffee Shop Trend – Anak muda menghabiskan akhir pekan di kafe aesthetic dengan harga kopi Rp50–70 ribu.
-
Travel Lokal – Staycation di villa Ubud atau glamping di Lembang menjadi treat favorit.
-
Fashion Lokal – Brand lokal seperti Erigo, Buttonscarves, dan Brodo jadi pilihan treat stylish dengan harga terjangkau.
-
Digital Lifestyle – Top-up game online dan subscription Netflix juga dianggap sebagai bentuk treat.
Fenomena ini membuat sektor pariwisata dan retail Indonesia semakin bergairah.
Kritik dan Kontroversi
Meski populer, Treat Culture juga tidak lepas dari kritik:
-
Konsumtif – Banyak yang menilai fenomena ini mendorong gaya hidup boros.
-
Kapitalisme Terselubung – Brand besar memanfaatkan tren ini untuk meningkatkan penjualan lewat iklan emosional.
-
Kesenjangan Sosial – Tidak semua orang mampu mengikuti tren ini, sehingga menimbulkan kesenjangan gaya hidup di media sosial.
Namun, bagi pendukungnya, Treat Culture adalah bentuk kebebasan memilih gaya hidup yang sesuai dengan kebutuhan emosional.
Tips Menjalani Treat Culture dengan Sehat
Agar Treat Culture 2025 memberi dampak positif, ada beberapa tips yang bisa dijalankan:
-
Tentukan Anggaran Bulanan – Sisihkan maksimal 10–15% dari pendapatan untuk treat.
-
Prioritaskan Self-Care Sehat – Treat tidak harus selalu materi, bisa berupa olahraga, meditasi, atau me time.
-
Hindari FOMO – Jangan menjadikan treat sebagai ajang pamer, tapi fokus pada kepuasan diri.
-
Pilih yang Bermakna – Cari treat yang memberi manfaat jangka panjang, bukan sekadar kesenangan sesaat.
Kesimpulan: Treat Culture 2025 sebagai Gaya Hidup Baru
Self-Care dalam Bentuk Modern
Fenomena Treat Culture 2025 adalah bentuk adaptasi generasi muda terhadap tekanan hidup modern. Dengan memberi hadiah kecil untuk diri sendiri, mereka menciptakan keseimbangan antara produktivitas dan kebahagiaan.
Antara Tren dan Risiko
Meski menuai kritik, Treat Culture tetap menjadi fenomena sosial yang kuat. Selama dijalankan dengan moderasi, tren ini bisa memberi dampak positif bagi individu sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi kreatif.